Bukan Orang yang Beruntung

“Jika kamu mengharapkan keberuntungan, maka kamu harus siap menghadapi kehilangan, karena keberuntungan akan hilang kapanpun tanpa terduga” hikmah story.

5/21/20252 min read

simon berger/unplash
simon berger/unplash

hikmahstory - Ia sering merasa bukan orang yang beruntung.

Setiap hari, ia merenungi ketidakhadiran keberuntungan dalam hidupnya. Berkali-kali ia bertanya, mengapa justru ketika kemungkinan begitu kecil, namanya yang dipilih oleh nasib untuk menghadapi ujian? Bayangkan, dari seratus orang, hanya satu yang akan mendapat tantangan. Peluangnya hanya satu persen. Tapi entah mengapa, terlalu sering angka itu jatuh padanya.

Jika itu terjadi sekali, mungkin hanya kebetulan. Tapi ketika itu berulang, ia mulai merasa seperti ditunjuk oleh sesuatu yang tak kasat mata untuk selalu menanggung beban lebih. Ia tak bisa tidak menganggap dirinya sebagai orang paling tidak beruntung.

Dalam kegelisahan itu, ia mulai mencari tahu: dari mana datangnya keberuntungan? Mengapa ada orang yang tampaknya selalu berada di waktu dan tempat yang tepat, seolah semesta berpihak pada mereka?

Ia pun mengamati. Dari banyak pengamatan diam-diam itu, ia menemukan satu pola yang berulang: kebaikan. Orang-orang yang hidupnya dipenuhi keberuntungan, ternyata tak sedikit yang memiliki hati yang ringan untuk memberi. Mereka membantu tanpa pamrih, tersenyum tanpa alasan, dan bersikap tulus bahkan saat tidak dilihat siapa-siapa.

Dari situlah ia mulai percaya, bahwa keberuntungan bukanlah sesuatu yang benar-benar acak. Bahwa ada energi yang saling bertukar antara apa yang kita beri dan apa yang datang kembali. Bahwa semesta, mungkin, menyukai orang-orang baik.

Dalam spiritualitas Timur, ini disebut karma bahwa setiap tindakan membawa dampak, baik atau buruk. Sedangkan dalam psikologi, ia menemukan istilah self-fulfilling prophecy: keyakinan bisa membentuk kenyataan. Orang yang percaya dirinya beruntung, akan bertindak lebih terbuka, lebih berani mengambil risiko, dan tanpa sadar menciptakan lebih banyak peluang. Sementara mereka yang merasa tidak beruntung, cenderung menutup diri, menghindari tantangan, dan memperkecil kemungkinan keberhasilan mereka sendiri.

Namun, ia juga percaya bahwa tidak semua hal bisa dipahami dengan logika semata. Ada bagian dari hidup ini yang misteriustakdir.

Ia mulai berpikir, barangkali Tuhan tidak menakdirkan sesuatu tanpa alasan. Barangkali, justru karena ia kuatlah maka ujian-ujian itu datang kepadanya. Bukan karena ia dikutuk, tapi karena ia dipilih untuk dibentuk.

Dan dari kesadaran itu, lahirlah ketenangan. Ia tidak lagi sibuk bertanya “mengapa aku?” Tapi mulai bertanya, “apa yang bisa kupelajari dari ini?”

Keberuntungan, pada akhirnya, bukan hanya soal menerima apa yang diinginkan. Tapi juga tentang menjadi pribadi yang siap menghadapi apa pun yang diberikan.

Dan jika benar keberuntungan bisa tumbuh dari kebaikan, maka ia ingin menjadi ladangnya. Ia tak ingin lagi mengejar keberuntungan dengan rasa iri, tapi menumbuhkannya dari hati yang lapang.

Karena siapa tahu, dalam deretan ujian yang dulu ia anggap sebagai kutukan, ternyata tersembunyi berkah yang baru akan tampak saat ia cukup dewasa untuk melihatnya.