Sudut Pandang: Risiko Menjadi Ibu, Tiada Hari Tanpa Rasa Khawatir
Menjadi ibu adalah perjalanan emosional seumur hidup. Di Hari Kartini ini, mari renungkan bagaimana cinta dan kekhawatiran menjadi bagian tak terpisahkan dari peran seorang ibu, dilihat dari perspektif psikologi dan sosiologi.
4/21/20251 min read


hikmahstory.id - Setiap kali aku menatap mata ibuku, selalu ada bayang-bayang kekhawatiran di sana. Bukan hanya sekali dua kali, tapi hampir setiap hari.
Seiring waktu, aku menyadari bahwa sorot mata itu bukan milik Ibuku seorang.
Hampir semua ibu yang kutemui dari berbagai daerah, latar budaya, hingga negara yang berbeda memancarkan hal yang sama: rasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang tak pernah benar-benar pergi.
Kekhawatiran adalah bagian tak terpisahkan dari peran keibuan. Ia hadir bukan karena ibu-ibu lemah atau berlebihan, melainkan karena begitu kuatnya ikatan emosional dan psikologis antara ibu dan anak.
Dalam ilmu psikologi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui attachment theory (teori keterikatan) yang dikembangkan oleh John Bowlby.
Bowlby menyatakan bahwa keterikatan emosional yang terbentuk antara ibu dan anak sejak dini berperan besar dalam membentuk rasa aman, sekaligus rasa tanggung jawab dan kecemasan yang melekat sepanjang hidup.
Menurut Mary Ainsworth, murid Bowlby yang mengembangkan konsep “secure base”, ibu bukan hanya pelindung fisik, tapi juga tempat aman secara emosional bagi anak.
Maka ketika anak menjauh, baik secara literal maupun metaforis, kekhawatiran muncul sebagai bentuk alami dari keterikatan tersebut.
Namun kekhawatiran ibu bukan semata hasil ikatan personal. Dalam konteks sosiologis, perempuan yang menjadi ibu juga dibentuk oleh konstruksi budaya yang menempatkan mereka sebagai penjaga utama kesejahteraan keluarga.
Teori peran gender dalam sosiologi menyoroti bahwa perempuan sering kali diminta menjalankan peran ganda mengasuh, mendidik, sekaligus menjaga emosi rumah tangga.
Tak heran jika kekhawatiran menjadi bagian dari "kerja emosional" yang dilakukan ibu secara terus-menerus.
Dalam tulisannya, sosiolog Arlie Hochschild menyebut konsep ini sebagai emotional labor pekerjaan tak terlihat yang melibatkan pengelolaan emosi demi kebaikan orang lain.
Seorang ibu bisa merasa bersalah hanya karena ia terlalu sibuk untuk mendampingi anak belajar, atau karena ia gagal membaca sinyal emosi anaknya dengan tepat. Semua ini menambah beban psikologis yang sering kali tidak dibicarakan secara terbuka.
Risiko menjadi ibu tidak hanya bersifat fisik saat proses melahirkan, tetapi juga bersifat emosional dan sosial yang berlangsung seumur hidup.
Seorang ibu tidak pernah benar-benar bisa “beristirahat” dari peran keibuannya, bahkan ketika anak-anak telah tumbuh dewasa. Kekhawatiran tetap ada.
